WELCOME TO MY BLOG .....WELCOME TO MY BLOG .....WELCOME TO MY BLOG .....WELCOME TO MY BLOG .....WELCOME TO MY BLOG .....WELCOME TO MY BLOG....."

30 April 2016

PERKEMBANGAN OPERASI AMFIBI

Jejak rekam sejarah penyelenggaraan operasi amfibi dimulai kurang lebih 3000 tahun yang lalu. Adalah bangsa Yunani konon yang pertama sekali menggunakan teknik operasi amfibi ketika menyerang kota Troy di Asia kecil dekat Turki. Prajurit Yunani melintasi Laut Aegean dan mendarat dipantai dekat kota Troy dan berjuang selama 10 tahun sampai berhasil menundukkan kota Troy. Pada tahun 490 SM, Persia menyerang Yunani dengan menggunakan kapal yang membawa kuda sebagai kendaraan tempur. Persia berhasil mendaratkan pasukannya namun dikalahkan oleh Yunani dalam perjalanan penyerangan menuju Athena. Operasi amphibi selanjutnya diikuti oleh Julius Caesar dengan memberikan latihan khusus kepada prajuritnya  dalam melakukan pendaratan dipantai sebelum Roman legions menaklukkan Inggris pada tahun 55 SM. Setelah itu banyak pendaratan amfibi yang berhasil dengan baik seperti William sang penakluk yang mendarat di Inggris pada tahun 1066, tetapi ada juga yang gagal seperti kegagalan armada spanyol yang membawa prajurit pendarat ke Inggris pada tahun 1588.
Angkatan laut Amerika menggunakan operasi amphibi pertama kali pada saat perang revolusi tahun 1766 ketika prajurit marinir didaratkan di pantai Bahama Inggris. Selama perang Spanyol dan Amerika pada tahun 1898, Angkatan Laut Amerika mengirim dan mendaratkan pasukannya ke Kuba dengan menggunakan kapal cepat. Selama konflik,  Amerika Serikat telah mendaratkan 16.000 prajuritnya di Santiago, Kuba. Operasi amfibi, pertama kali menggunakan kapal yang lebih modern dan bersifat gabungan berlangsung pada tahun 1915-1916 di Gallipoli pada Perang Dunia I, dan ini merupakan operasi amfibi yang mengalami kegagalan. Selama periode perang dunia, Angkatan Laut Amerika dan Marine Corps mengembangkan peralatan dan doktrin operasi amfibi, organisasi pasukan, kapal, kendaraan amfibi yang dapat melakukan operasi di darat dan laut serta dilakukan pengujian taktik, latihan penggunaan senjata dan kapal bahkan pesawat terbang untuk memberikan dukungan serangan terhadap pasukan pandarat. Teori ini diwujudkan pada tahun 1933 dengan membuat armada angkatan laut yang dikenal sebagai Advance Force Base. Armada ini merupakan pasukan reaksi cepat dan diuji dalam peperangan amfibi dengan latihan selama tahunan, dan hal ini dibuktikan dalam perang dunia II , dimana banyak marinir didaratkan dipulau-pulau pada perang Pasifik.
Selama periode perang dunia II , tercatat telah banyak diselenggarakan operasi amfibi terutama oleh Amerika dan sekutunya, dan yang paling terkenal adalah D-day pada tanggal 6 Juni tahun 1944 yang dilakukan oleh sekutu di pantai Normandy, dimana sampai akhir Juni Einsenhower telah mendaratkan 850.000 prajurit dan 150.000 kendaraan tempur. Sedangkan pada akhir kekuasaan Jepang, Flotila marinir angkatan laut Amerika dengan menggunakan kapal amfibi berhasil mendaratkan pasukan diseluruh Pasifik mulai dari Guam, Saipan, dan Tinian, Filipina kemudian terakhir di Iwo Jima. Setelah perang dunia II, Operasi amfibi selanjutnya dilakukan oleh sekutu dalam operasi Desert Shield dan Desert Storm dengan mengerahkan 43 kapal amfibi untuk membawa 18.000 marinir  yang disiapkan dalam rangka melakukan pertahanan di sepanjang pantai Oman dan Arab Saudi terhadap kemungkinan hadirnya pasukan bantuan Irak ke Kuwait.
Pasca perang dingin USMC menyelesaikan tiga sampai dengan empat mission pertahun, dan tiga tahun paska Desert Storm Operations, USMC telah menyelenggarakan 20 kali penugasan. Hal ini mencerminkan kebutuhan yang besar terhadap angkatan laut dan marinir yang ada di kapal dan untuk mengantisipasi perkembangan lingkungan strategis dibelahan dunia.

Perkembangan terkini proyeksi satuan-satuan UMSC ke berbagai penugasan adalah dalam bentuk Satuan Tugas Marinir Udara-Darat (Marine Air-Ground Task Force/ MAGTF) yang mencerminkan fleksibilitas suatu susunan tugas. Struktur organisasi MAGTF terdiri dari empat bagian/elemen yaitu unsur Kodal (Command Element), unsur tempur darat (Ground Combat Element), unsur tempur udara (Aviation Combat Element) dan unsur logistik tempur (Logistics Combat Element). Sebuah MAGTF didisain dapat beroperasi secara mandiri atau merupakan bagian dari sebuah koalisi. MAGTF dibentuk bersifat sementara (temporary) untuk melaksanakan sebuah tugas tertentu dan akan dibubarkan takala tugas/misi telah berhasil atau selesai dilaksanakan.
Bentukan terkecil dari sebuah MAGTF adalah Marine Expeditionary Unit (MEU) dengan inti kekuatan terdiri dari satu Batalyon Infateri diperkuat (Yonif DPK) dan satu skuadron udara komposit. Sedangkan bentukan susunan tugas terbesar adalah Marine Expeditionary Force (MEF) yang merupakan sinergisitas kekuatan yang saling berhubungan dan keterkaitan antara satu Divisi, satu Wing Udara dan satu grup logistik yang berada dibawah satu Kodal grup markas MEF. Saat ini USMC memiliki tiga MEF dan tujuh MEU, tiga MEU berpangkalan di Camp Lejeune Carolina Utara sebagai bagian dari kekuatan Armada Atlantik  dan empat MEU yang merupakan bagian dari kekuatan Armada Pasifik  yang berpangkalan di Okinawa Jepang. Setiap MEU dipimpin oleh seorang Pamen berpangkat Kolonel dengan background sebagai Combat Armns baik sebagai infanteri maupun penerbang/pilot. Struktur organisasi MEU didisain terdiri dari unsur komando (Command Element), unsur tempur darat (Ground Combat Element), unsur tempur udara (Aviation Combat Element) dan unsur logistik tempur (Logistics Combat Element) yang masing-masing dipimpin oleh seorang Letnan Kolonel. Rotasi penugasan MEU diatur bergiliran, sehingga ketika satu MEU sedang melaksanakan tugas operasi, maka MEU lainnya  melaksanakan pembinaan dan latihan sedangan satu MEU lainnya di standby-kan dengan status siaga operasi guna menggantikan MEU yang baru selesai melaksanakan suatu misi.

Sejalan dengan perkembangan Revolution in Military Affair (RMA) yang dibarengi dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, maka penyelenggaraan operasi amfibi tidak hanya mengalami perubahan dalam kerangka dasar (Base Frame Work) struktur susunan tugas, tapi juga mengalami perubahan yang signifikan di bidang dotrin, strategi operasi, strategi medan tempur, taktik dan tehnik. Esensi definisi operasi amfibi tidak lagi sebagai suatu serbuan dari laut dengan pola gerakan kapal ke pantai/GKK (Ship To Shore Movement) akan tetapi sudah didisain menjadi operasi manuver dari kapal ke sasaran (Ship To Objective Maneuver/STOM) yang mempunyai capability menyerang dari balik cakrawala (Over The Horizon Amphibious Assault). Terdapat satu hal penting mendasar yang senantiasa dikaji dan diteliti oleh para pakar dan badan Litbang USMC terkait dengan evolusi doktrin operasi amfibi, yaitu bagaimana memproyeksikan kekuatan pasukan pendarat dari laut kedarat dalam jumlah besar dan dalam rentang waktu yang sesingkat-singkatnya dengan pendadakan maksimal untuk memberikan pukulan telak yang menentukan serta mampu memberikan kejutan taktis dan operasional.
  
Jika mencermari sejarah penyelenggaraan operasi amfibi yang di gelar oleh negara-negara di belahan dunia, terlebih oleh Amerika Serikat, maka jelas dan sangat mudah untuk di simpulkan bahwa dari persepektif mandala operasi, maka gelar operasi gabungan amfibi tidak pernah di lakukan di negara sendiri atau negara pasukan penyerang. Artinya, sebuah negara yang manganut paham dan memiliki kemampuan proyeksi dari laut ke darat, oleh sebagian orang dianggap memiliki karakter dan jiwa negara agresor/invasi. Namun, anggapan tersebut tidaklah sepenuhnya benar dan tidak pula keliru, tergantung dari perspektif/sudut pandang mana kita mencermatinya.  Sebagai sebuah negara super power tunggal yang sarat dengan dengan ambisi dan kepentingan, maka sangatlah wajar jika negeri paman sam berkeinginan mentranformasikan pengarunhnya ke seluruh antero jagat raya belahan bumi lainnya. Hal ini terkait dengan begitu banyaknya kepentingan nasional negara adidaya tersebut yang tersebar di luar teritorinya. Oleh karenanya, untuk mengamankan kepentingan nasionalnya, maka mau tidak mau Amerika harus memiliki dan senantiasa membangun kemampuan proyeksi kekuatan dari laut ke darat baik dalam konteks penyelenggaraan operasi militer perang (Military Operation War/MOW) maupun dalam operasi militer selain perang (Military Operation Other Than War/MOOUT) dalam rangka operasi bantuan kemanusian (Humanitarian Assistance).

TNI AL sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari TNI, merupakan garda terdepan dalam menjaga keutuhan NKRI, memiliki tiga kemampuan dasar yang harus senantiasa di bangun dan dilatih kemampuannya untuk dapat melaksanakan tugas pokok, menegakkan kedaulatan dan menegakkan hukum di wilayah yurisdiksi nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang RI No. 34 tahun 2004. Tiga kemampuan dasar TNI AL adalah kemampuan perang atas permukaan, kemampuan perang bawah permukaan dan kemampuan proyeksi kekuatan kedarat. Ketiga kemampuan tersebut bersinergi dalam suatu kekuatan Sistim Senjata Armada Terpadu (SSAT) yang terdiri dari KRI, Pesawat Udara, Pangkalan dan Marinir TNI AL. Ketiga kemampuan tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya. Terkait dengan kemampuan proyeksi kekuatan dari laut ke darat, maka dari perspektif Indonesia yang dihadapkan dengan konstelasi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan 17.504 pulau, bahwa kemampuan proyeksi kekuatan dari laut ke darat tidak serta merta diartikan sebagai kemampuan yang disemangati oleh jiwa dan karakter agresor/invasi. Tatkala sebuah pulau dari 17.504 yang ada di yurisdiksi nasional diduduki dan dikuasai (baca:diganggu) oleh state actor maupun non state actor, maka dalam konteks startegi militer, hanya ada dua opsi untuk dapat merebut kembali pulau tersebut kembali ke pangkuan ibu pertiwi, yakni dengan melaksanakan operasi amfibi atau operasi Linud. Thus, penyelenggaraan operasi amfibi di Indonesia berdimensi “Non Aggretion Spirit”, akan tetapi merupakan suatu kemampuan yang harus tetap terpelihara dalam rangka mempertahankan keutuhan dan kedaulatan wilayah yurisdiksi nasional. Perbedaan sudut pandang pemahaman doktrin operasi amfibi oleh negara-negara kawasan maupun negara belahan dunia lainnya merupakan suatu peluang yang bisa di explore untuk memberikan dampak penangkalan (Deterrence Effect) di wilayah kawasan  Contoh sederhana, tatkala TNI menyelenggarakan latihan pendaratan amfibi di wilayah sendiri, maka negara-negara di wilayah kawasan akan mencermati dengan seksama sekaligus akan berhitung untuk coba-coba mengusik kedaulatan NKRI. Negara-negara kawasan akan bertambah gamang, ketika latihan pendaratan amfibi tersebut didukung oleh Alutsista yang modern dan berteknologi mutahir. Masih tercatat dalam rekam sejarah perjalanan bangsa ini, bahwa pengalaman/empirik telah membuktikan, bagaimana akhirnya Belanda yang kala itu menguasai dan menduduki Irian Barat mau diajak ke meja perundingan setelah mendapat informasi adanya kekuatan Armada RI yang sedang dalam perjalanan menuju perairan Arafuru dalam rangka merebut kembali Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Gelar operasi gugus tugas TNI AL dimasa damai dalam konteks OMSP yang merefleksikan kekuatan SSAT, dimana satuan-satuan Marinir TNI AL attachment di KRI, selain memberikan deterrence effect, juga dapat di explore untuk melaksanakan tugas-tugas Medcap dan Encap di daerah-daerah terpancil yang terisolir.

No comments:

Post a Comment