Jejak
rekam sejarah penyelenggaraan operasi amfibi dimulai kurang lebih 3000
tahun yang lalu. Adalah bangsa Yunani konon yang pertama sekali
menggunakan teknik operasi amfibi ketika menyerang kota Troy di Asia
kecil dekat Turki. Prajurit Yunani melintasi Laut Aegean dan mendarat
dipantai dekat kota Troy dan berjuang selama 10 tahun sampai berhasil
menundukkan kota Troy. Pada tahun 490 SM, Persia menyerang Yunani dengan
menggunakan kapal yang membawa kuda sebagai kendaraan tempur. Persia
berhasil mendaratkan pasukannya namun dikalahkan oleh Yunani dalam
perjalanan penyerangan menuju Athena. Operasi amphibi selanjutnya
diikuti oleh Julius Caesar dengan memberikan latihan khusus kepada
prajuritnya dalam melakukan pendaratan dipantai sebelum Roman legions
menaklukkan Inggris pada tahun 55 SM. Setelah itu banyak pendaratan
amfibi yang berhasil dengan baik seperti William sang penakluk yang
mendarat di Inggris pada tahun 1066, tetapi ada juga yang gagal seperti
kegagalan armada spanyol yang membawa prajurit pendarat ke Inggris pada
tahun 1588.
Angkatan laut Amerika menggunakan operasi amphibi pertama kali pada saat perang revolusi tahun 1766 ketika prajurit marinir didaratkan di pantai Bahama Inggris. Selama perang Spanyol dan Amerika pada tahun 1898, Angkatan Laut Amerika mengirim dan mendaratkan pasukannya ke Kuba dengan menggunakan kapal cepat. Selama konflik, Amerika Serikat telah mendaratkan 16.000 prajuritnya di Santiago, Kuba. Operasi amfibi, pertama kali menggunakan kapal yang lebih modern dan bersifat gabungan berlangsung pada tahun 1915-1916 di Gallipoli pada Perang Dunia I, dan ini merupakan operasi amfibi yang mengalami kegagalan. Selama periode perang dunia, Angkatan Laut Amerika dan Marine Corps mengembangkan peralatan dan doktrin operasi amfibi, organisasi pasukan, kapal, kendaraan amfibi yang dapat melakukan operasi di darat dan laut serta dilakukan pengujian taktik, latihan penggunaan senjata dan kapal bahkan pesawat terbang untuk memberikan dukungan serangan terhadap pasukan pandarat. Teori ini diwujudkan pada tahun 1933 dengan membuat armada angkatan laut yang dikenal sebagai Advance Force Base. Armada ini merupakan pasukan reaksi cepat dan diuji dalam peperangan amfibi dengan latihan selama tahunan, dan hal ini dibuktikan dalam perang dunia II , dimana banyak marinir didaratkan dipulau-pulau pada perang Pasifik.
Angkatan laut Amerika menggunakan operasi amphibi pertama kali pada saat perang revolusi tahun 1766 ketika prajurit marinir didaratkan di pantai Bahama Inggris. Selama perang Spanyol dan Amerika pada tahun 1898, Angkatan Laut Amerika mengirim dan mendaratkan pasukannya ke Kuba dengan menggunakan kapal cepat. Selama konflik, Amerika Serikat telah mendaratkan 16.000 prajuritnya di Santiago, Kuba. Operasi amfibi, pertama kali menggunakan kapal yang lebih modern dan bersifat gabungan berlangsung pada tahun 1915-1916 di Gallipoli pada Perang Dunia I, dan ini merupakan operasi amfibi yang mengalami kegagalan. Selama periode perang dunia, Angkatan Laut Amerika dan Marine Corps mengembangkan peralatan dan doktrin operasi amfibi, organisasi pasukan, kapal, kendaraan amfibi yang dapat melakukan operasi di darat dan laut serta dilakukan pengujian taktik, latihan penggunaan senjata dan kapal bahkan pesawat terbang untuk memberikan dukungan serangan terhadap pasukan pandarat. Teori ini diwujudkan pada tahun 1933 dengan membuat armada angkatan laut yang dikenal sebagai Advance Force Base. Armada ini merupakan pasukan reaksi cepat dan diuji dalam peperangan amfibi dengan latihan selama tahunan, dan hal ini dibuktikan dalam perang dunia II , dimana banyak marinir didaratkan dipulau-pulau pada perang Pasifik.
Selama
periode perang dunia II , tercatat telah banyak diselenggarakan operasi
amfibi terutama oleh Amerika dan sekutunya, dan yang paling terkenal
adalah D-day pada tanggal 6 Juni tahun 1944 yang dilakukan oleh
sekutu di pantai Normandy, dimana sampai akhir Juni Einsenhower telah
mendaratkan 850.000 prajurit dan 150.000 kendaraan tempur. Sedangkan
pada akhir kekuasaan Jepang, Flotila marinir angkatan laut Amerika
dengan menggunakan kapal amfibi berhasil mendaratkan pasukan diseluruh
Pasifik mulai dari Guam, Saipan, dan Tinian, Filipina kemudian terakhir
di Iwo Jima. Setelah perang dunia II, Operasi amfibi selanjutnya
dilakukan oleh sekutu dalam operasi Desert Shield dan Desert Storm
dengan mengerahkan 43 kapal amfibi untuk membawa 18.000 marinir yang
disiapkan dalam rangka melakukan pertahanan di sepanjang pantai Oman dan
Arab Saudi terhadap kemungkinan hadirnya pasukan bantuan Irak ke
Kuwait.
Pasca perang dingin USMC menyelesaikan tiga sampai dengan empat mission pertahun, dan tiga tahun paska Desert Storm Operations,
USMC telah menyelenggarakan 20 kali penugasan. Hal ini mencerminkan
kebutuhan yang besar terhadap angkatan laut dan marinir yang ada di
kapal dan untuk mengantisipasi perkembangan lingkungan strategis
dibelahan dunia.
Perkembangan terkini proyeksi satuan-satuan UMSC ke berbagai penugasan adalah dalam bentuk Satuan Tugas Marinir Udara-Darat (Marine Air-Ground Task Force/ MAGTF)
yang mencerminkan fleksibilitas suatu susunan tugas. Struktur
organisasi MAGTF terdiri dari empat bagian/elemen yaitu unsur Kodal (Command Element), unsur tempur darat (Ground Combat Element), unsur tempur udara (Aviation Combat Element) dan unsur logistik tempur (Logistics Combat Element).
Sebuah MAGTF didisain dapat beroperasi secara mandiri atau merupakan
bagian dari sebuah koalisi. MAGTF dibentuk bersifat sementara (temporary) untuk melaksanakan sebuah tugas tertentu dan akan dibubarkan takala tugas/misi telah berhasil atau selesai dilaksanakan.
Bentukan terkecil dari sebuah MAGTF adalah Marine Expeditionary Unit (MEU)
dengan inti kekuatan terdiri dari satu Batalyon Infateri diperkuat
(Yonif DPK) dan satu skuadron udara komposit. Sedangkan bentukan susunan
tugas terbesar adalah Marine Expeditionary Force (MEF) yang
merupakan sinergisitas kekuatan yang saling berhubungan dan keterkaitan
antara satu Divisi, satu Wing Udara dan satu grup logistik yang berada
dibawah satu Kodal grup markas MEF. Saat
ini USMC memiliki tiga MEF dan tujuh MEU, tiga MEU berpangkalan di Camp
Lejeune Carolina Utara sebagai bagian dari kekuatan Armada Atlantik
dan empat MEU yang merupakan bagian dari kekuatan Armada Pasifik yang
berpangkalan di Okinawa Jepang. Setiap MEU dipimpin oleh seorang Pamen
berpangkat Kolonel dengan background sebagai Combat Armns baik sebagai infanteri maupun penerbang/pilot. Struktur organisasi MEU didisain terdiri dari unsur komando (Command Element), unsur tempur darat (Ground Combat Element), unsur tempur udara (Aviation Combat Element) dan unsur logistik tempur (Logistics Combat Element)
yang masing-masing dipimpin oleh seorang Letnan Kolonel. Rotasi
penugasan MEU diatur bergiliran, sehingga ketika satu MEU sedang
melaksanakan tugas operasi, maka MEU lainnya melaksanakan pembinaan dan
latihan sedangan satu MEU lainnya di standby-kan dengan status siaga
operasi guna menggantikan MEU yang baru selesai melaksanakan suatu misi.
Sejalan dengan perkembangan Revolution in Military Affair (RMA)
yang dibarengi dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan
informasi, maka penyelenggaraan operasi amfibi tidak hanya mengalami
perubahan dalam kerangka dasar (Base Frame Work) struktur susunan
tugas, tapi juga mengalami perubahan yang signifikan di bidang dotrin,
strategi operasi, strategi medan tempur, taktik dan tehnik. Esensi
definisi operasi amfibi tidak lagi sebagai suatu serbuan dari laut
dengan pola gerakan kapal ke pantai/GKK (Ship To Shore Movement) akan tetapi sudah didisain menjadi operasi manuver dari kapal ke sasaran (Ship To Objective Maneuver/STOM) yang mempunyai capability menyerang dari balik cakrawala (Over The Horizon Amphibious Assault).
Terdapat satu hal penting mendasar yang senantiasa dikaji dan diteliti
oleh para pakar dan badan Litbang USMC terkait dengan evolusi doktrin
operasi amfibi, yaitu bagaimana memproyeksikan kekuatan pasukan pendarat
dari laut kedarat dalam jumlah besar dan dalam rentang waktu yang
sesingkat-singkatnya dengan pendadakan maksimal untuk memberikan pukulan
telak yang menentukan serta mampu memberikan kejutan taktis dan
operasional.
Jika
mencermari sejarah penyelenggaraan operasi amfibi yang di gelar oleh
negara-negara di belahan dunia, terlebih oleh Amerika Serikat, maka
jelas dan sangat mudah untuk di simpulkan bahwa dari persepektif mandala
operasi, maka gelar operasi gabungan amfibi tidak pernah di lakukan di
negara sendiri atau negara pasukan penyerang. Artinya, sebuah negara
yang manganut paham dan memiliki kemampuan proyeksi dari laut ke darat,
oleh sebagian orang dianggap memiliki karakter dan jiwa negara
agresor/invasi. Namun, anggapan tersebut tidaklah sepenuhnya benar dan
tidak pula keliru, tergantung dari perspektif/sudut pandang mana kita
mencermatinya. Sebagai sebuah negara super power tunggal yang sarat
dengan dengan ambisi dan kepentingan, maka sangatlah wajar jika negeri
paman sam berkeinginan mentranformasikan pengarunhnya ke seluruh antero
jagat raya belahan bumi lainnya. Hal ini terkait dengan begitu banyaknya
kepentingan nasional negara adidaya tersebut yang tersebar di luar
teritorinya. Oleh karenanya, untuk mengamankan kepentingan nasionalnya,
maka mau tidak mau Amerika harus memiliki dan senantiasa membangun
kemampuan proyeksi kekuatan dari laut ke darat baik dalam konteks
penyelenggaraan operasi militer perang (Military Operation War/MOW) maupun dalam operasi militer selain perang (Military Operation Other Than War/MOOUT) dalam rangka operasi bantuan kemanusian (Humanitarian Assistance).
TNI
AL sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari TNI, merupakan garda
terdepan dalam menjaga keutuhan NKRI, memiliki tiga kemampuan dasar yang
harus senantiasa di bangun dan dilatih kemampuannya untuk dapat
melaksanakan tugas pokok, menegakkan kedaulatan dan menegakkan hukum di
wilayah yurisdiksi nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh
undang-undang RI No. 34 tahun 2004. Tiga kemampuan dasar TNI AL adalah
kemampuan perang atas permukaan, kemampuan perang bawah permukaan dan
kemampuan proyeksi kekuatan kedarat. Ketiga kemampuan tersebut
bersinergi dalam suatu kekuatan Sistim Senjata Armada Terpadu (SSAT)
yang terdiri dari KRI, Pesawat Udara, Pangkalan dan Marinir TNI AL.
Ketiga kemampuan tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang
lainnya. Terkait dengan kemampuan proyeksi kekuatan dari laut ke darat,
maka dari perspektif Indonesia yang dihadapkan dengan konstelasi
geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan 17.504 pulau, bahwa
kemampuan proyeksi kekuatan dari laut ke darat tidak serta merta
diartikan sebagai kemampuan yang disemangati oleh jiwa dan karakter
agresor/invasi. Tatkala sebuah pulau dari 17.504 yang ada di yurisdiksi
nasional diduduki dan dikuasai (baca:diganggu) oleh state actor maupun non state actor,
maka dalam konteks startegi militer, hanya ada dua opsi untuk dapat
merebut kembali pulau tersebut kembali ke pangkuan ibu pertiwi, yakni
dengan melaksanakan operasi amfibi atau operasi Linud. Thus, penyelenggaraan operasi amfibi di Indonesia berdimensi “Non Aggretion Spirit”,
akan tetapi merupakan suatu kemampuan yang harus tetap terpelihara
dalam rangka mempertahankan keutuhan dan kedaulatan wilayah yurisdiksi
nasional. Perbedaan sudut pandang pemahaman doktrin operasi amfibi oleh
negara-negara kawasan maupun negara belahan dunia lainnya merupakan
suatu peluang yang bisa di explore untuk memberikan dampak penangkalan (Deterrence Effect)
di wilayah kawasan Contoh sederhana, tatkala TNI menyelenggarakan
latihan pendaratan amfibi di wilayah sendiri, maka negara-negara di
wilayah kawasan akan mencermati dengan seksama sekaligus akan berhitung
untuk coba-coba mengusik kedaulatan NKRI. Negara-negara kawasan akan
bertambah gamang, ketika latihan pendaratan amfibi tersebut didukung
oleh Alutsista yang modern dan berteknologi mutahir. Masih tercatat
dalam rekam sejarah perjalanan bangsa ini, bahwa pengalaman/empirik
telah membuktikan, bagaimana akhirnya Belanda yang kala itu menguasai
dan menduduki Irian Barat mau diajak ke meja perundingan setelah
mendapat informasi adanya kekuatan Armada RI yang sedang dalam
perjalanan menuju perairan Arafuru dalam rangka merebut kembali Irian
Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Gelar operasi gugus tugas TNI AL dimasa
damai dalam konteks OMSP yang merefleksikan kekuatan SSAT, dimana
satuan-satuan Marinir TNI AL attachment di KRI, selain memberikan deterrence effect, juga dapat di explore untuk melaksanakan tugas-tugas Medcap dan Encap di daerah-daerah terpancil yang terisolir.
No comments:
Post a Comment