WELCOME TO MY BLOG .....WELCOME TO MY BLOG .....WELCOME TO MY BLOG .....WELCOME TO MY BLOG .....WELCOME TO MY BLOG .....WELCOME TO MY BLOG....."

24 November 2011

Menjaga Netralitas TNI dan Polri

Pemilihan umum masih tiga tahun lagi, namun wacana memberikan hak politik bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kembali mengemuka ke ranah publik. Seperti menjelang pemilihan umum 2004, sejumlah kalangan mendorong agar personel militer dan polisi mempunyai hak untuk memilih. Kendati ada suara-suara yang setuju agar anggota TNI dan Polri bisa ikut memilih calon anggota legislatif serta calon presiden, justru TNI bersikap dengan membuat garis batas yang tegas dengan tidak ikut sebagai konstituen.

Bahkan pada 2004, MPR pernah mengeluarkan Ketetapan Nomor VII yang menyatakan, anggota TNI tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Ketetapan itu juga dilatarbelakangi semangat reformasi yang menghendaki TNI dan Polri kembali kepada tugas pokoknya menjaga pertahanan serta keamanan.

Meski begitu, belakang mencuat kembali usulan agar tentara dan polisi mempunyai hak pilih dalam pemilihan umum. Dukungan itu mengacu kepada hak asasi bagi setiap warga negara, termasuk para serdadu dan polisi. Kedua profesi itu tidak boleh dikecualikan untuk memiliki hak politik sebagai konstituen yang berhak memberikan suara dalam sebuah pemilihan umum.

Pengecualian terhadap tentara dan polisi untuk menggunakan haknya selaku warga negara Indonesia dalam perhelatan demokrasi lima tahunan itu, menurut pandangan dari kelompok pro hak pilih bagi TNI dan Polri, berarti mengurangi hak berdemokrasi mereka. Sebaliknya, pandangan yang tidak setuju tetap menghendaki agar personel militer dan anggota Polri tidak diberikan hak untuk memilih. Mereka yang kontra khawatir hak pilih bagi anggota TNI dan Polri amat berpotensi menimbulkan perpecahan di institusi TNI serta kepolisian.

Bahkan Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono mengaku khawatir apabila tentara diberikan hak pilih dalam Pemilu 2014 akan menimbulkan perpecahan di kalangan prajurit. Bahkan orang pertama di TNI itu merujuk kepada pemilihan kepala daerah secara langsung di sejumlah wilayah Indonesia yang menunjukkan masyarakat masih belum menerima kehadiran TNI untuk menggunakan hak pilihnya.

Penolakan terhadap hak pilih dan dipilih bagi anggota TNI dan Polri juga didasari semangat reformasi yang menginginkan militer dan polisi tidak terlibat dalam politik praktis. Konsekuensi lainnya, sudah tidak ada lagi anggota TNI maupun Polri duduk sebagai anggota legislatif di pusat dan daerah.

Dorongan dari bagian besar rakyat supaya personel militer dan polisi tidak berpolitik praktis pun dituangkan dalam sebuah produk legislatif. UU No. 34 tahun 2004 sudah menggariskan larangan bagi prajurit menjadi anggota partai politik dan kegiatan politik praktis. Amanat undang-undang itu jelas melarang para serdadu maupun polisi untuk memilih dalam pemilihan umum ataupun menjadi anggota legislatif. Bahkan dengan undang-undang itu, anggota TNI dan Polri dilarang untuk duduk dalam jabatan politis lainnya, seperti gubernur, bupati ataupun walikota.

Kekhawatiran hak pilih bagi tentara dan polisi sebenarnya lebih dari kecemasan akan terjadi perpecahan di kedua institusi itu. Namun lebih dari itu adalah keberadaan personel militer dan polisi yang dapat menebar pengaruhnya untuk menarik orang-orang atau kelompok lainnya agar ikut menjatuhkan pilihan pada partai politik tertentu.

Bila seorang tentara menjatuhkan pilihannya kepada partai politik tertentu maka tidak bisa dielakkan akan mengajak anggota keluarga maupun orang-orang sekelilingnya memberikan suara kepada pilihan yang sama. Apalagi, jangkauan militer dan juga polisi sampai ke daerah pelosok. Melihat potensi itu, wajar saja masih ada keinginan dari partai politik untuk bisa mendapat dukungan dari militer dan polisi.

Bahkan bagi partai politik yang sedang berkuasa, bukan sesuatu yang sulit untuk memperoleh suara dari tentara dan polisi. Terlebih lagi, doktrin di tubuh militer amat menghormati perintah atasan. Apabila seorang perwira, terlebih menyandang bintang di pundaknya mempunyai hak pilih, maka bukan sesuatu yang sulit untuk meminta bawahannya memilih partai politik yang sama.

Fakta sejarah di negeri ini selama 32 tahun rezim Orde Baru yang ditopang sepenuhnya oleh militer sudah membuktikan, penguasa ketika itu menggunakan institusi militer dan kepolisian yang ketika itu masih menyatu dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak lebih sebagai perpanjangan tangan pemegang kekuasaan.

Saat ini, jauh lebih bermanfaat dari wacana hak pilih anggota TNI dan Polri adalah bagaimana membuat militer dan polisi yang profesional. Rakyat amat mengidamkan tentara yang mampu menjaga kedaulatan Republik Indonesia atas setiap jengkal wilayahnya. Rakyat juga selalu berharap polisi yang melindungi masyarakat luas dan menegakkan hukum. Tentara dan polisi yang handal dan senantiasa menghormati hak asasi manusia.
suarapembaruan 

No comments:

Post a Comment