WELCOME TO MY BLOG .....WELCOME TO MY BLOG .....WELCOME TO MY BLOG .....WELCOME TO MY BLOG .....WELCOME TO MY BLOG .....WELCOME TO MY BLOG....."

19 November 2011

Kebangkitan China dan pengaruhnya pada tatanan Global-Regional

Transformasi kebangkitan China sebagai  imperium baru di era globalisasi telah banyak membuat kekahawatiran para pembuat kebijakan negara lain terhadap negara ini. Apakah Kebangkitan China memiliki niat dan motivasi untuk menantang sistem yang ada. Apakah pemimpin baru China cenderung agresif realis. Apakah mereka memiliki keyakinan revisionis. Referensi ini tidak hanya dilihat dari segi kekuatan China saja, akan tetapi situasi eksternal dan ancaman yang dirasakan melalui pemimpin China, persepsi dan kepercayaan mereka, akan mencerminkan budaya strategis mereka. Berakhirnya perang dingin juga menandakan perubahan tampuk kepemimpinan China dari Deng Xiaoping yang digantikan oleh Jiang Zemin. Pemimpin baru China harus menyadari perubahan sistemik yang didasari oleh disintegrasi Uni Soviet yang membawa perubahan signifikan dalam lingkungan keamanan China. Setelah bereformasi selama puluhan tahun dan membuka diri, situasi domestik China juga ikut berubah. Konsep Keamanan Baru (New Security Concept/NSC) telah memberikan kontribusi bagi pemimpin China untuk membentuk strategi keamanan baru. Pada akhir kepemimpinan Deng, China telah mulai melonggarkan hubungan dengan Amerika Serikat dan menganjurkan sebuah kebijakan yang independen dan menekankan pada perdamaian, titik sentral kebijakan tersebut bersifat reaktif dan pasif, tujuan kebijakan tersebut tidak lain untuk menghindari keterlibatan dalam perang atau konflik. Dibandingkan dengan pendekatan non-alignment, NSC menekankan dialog, dan konsultasi secara aktif mencegah perang dan konflik melalui (confidence - building measures) CBMs.

NSC membantu China aktif terlibat dalam isu-isu internasional karena menurut para pimimpin China, dengan CBMs dan dialog yang dianjurkan dalam NSC akan mempermudah China untuk mendapatkan dukungan politik, karena didasarkan pada standar Konfusianisme "kebajikan dan moralitas" (ren dan yi). Fakta ini menunjukkan kepada kita bahwa kebijakan keamanan china yang baru masih berpegang pada nilai confusius dan Sun Tzu yang menekankan pada pentingnya menghindari jalan perang dan sifat agresif, yang ditakuti oleh negara-negara lain akan muncul bersamaan dengan kebangkitan China. Sehingga sangat penting untuk memahami nilai-nilai yang masih menjadi kepercayaan penting dalam Kebijakan China. Karya-karya Konfusius dan Sun Tzu secara signifikan mempengaruhi pemikiran strategis dan perilaku China. Budaya strategis Konfusius, yang menjadi cara pengambil keputusan China telah diremehkan atau diabaikan oleh para sarjana Barat. Pandangan Konfusianisme pada perilaku strategis China adalah bahwa China secara umum, menunjukkan keengganan untuk menggunakan kekerasan. Bahkan di bawah ancaman keamanan, cara-cara diplomatik dan negosiasi lebih disukai dan diusulkan sebagai pilihan pertama. Namun jika kekerasan terpaksa digunakan di bawah kondisi bahwa semua cara lain ternyata tidak berhasil, China tetap akan mencari peluang untuk kembali ke meja perundingan untuk penyelesaian damai, sehingga mengurangi kerusakan lebih lanjut. Sifat defensif China dapat dilihat dari Tembok Besar yang terkenal di dunia yang dibangun selama Periode Negara Perang (403-221 SM) sampai Dinasti Ming (1368-1644), tembok tersebut adalah garis depan pertahanan melawan agresi luar. Bahkan, Tembok Besar adalah simbol dari strategi pertahanan keamanan China.
Ketika penggunaan kekuatan menjadi "tidak dapat dihindari," hal itu harus didasarkan pada standar yang benar (yizhan), yang berarti bahwa tujuan perang adalah untuk melawan orang-orang yang telah menciptakan kondisi perang (invasi) atau untuk menghentikan penindasan si kuat terhadap lemah. Menurut Konfusius, yi atau "kebenaran atau standar moral yang tinggi" merupakan dasar untuk mendapatkan dukungan massa dan untuk menyatukan rakyat. Elit politik dan militer China secara luas percaya bahwa "tidak akan ada jalan keluar dari kekalahan jika pertempuran di dalam perang dilakukan tanpa alasan yang benar" (buyi zhishi bi zibi) dan menekankan bahwa "kekuatan harus digunakan dengan alasan tertentu" (shicu youming). Ketika perang pecah, maka kecenderungan strategis China masih bersandar terhadap sifat defensif dan penggunaan kekuatan terbatas. Serangan secara besar hanya akan diluncurkan untuk tujuan menghukum, mencegah, dan pengamanan daripada pemusnahan. Menghadapi tantangan baru dalam keamanan PLA  menyadari pentingnya keterlibatan dalam pembuatan kebijakan keamana. Tentara Pembebasan Rakyat melihat adanya kemungkinan memainkan peran yang lebih besar bersamaan dengan berkembanganya China membangun kekuatan militer, pada tahun 2004 Hu Jintao memformulasi, "memberikan jaminan keamanan bagi kepentingan nasional," yang kemudian diartikan untuk membela kepentingan yang lebih jauh. China telah berjuang baik di dalam perang yang bersifat "defensif" dan "ofensif" untuk tujuan membentuk lingkungan keamanan untuk mencapai tujuan nasionalnya. Pertempuran yang bersifat ofensif di masa depan atau perang bisa dicapai untuk mengamankan kontrol China atas wilayah sengketa dengan Korea Selatan dan Jepang, dan untuk mencapai "misi suci" dari "reunifikasi" dengan Taiwan. Tentara Pembebasan Rakyat adalah kunci untuk lobi garis keras kebijakan terhadap Taiwan, Jepang, dan sistem aliansi yang dipimpin AS di Asia.
Kawasan Asia Tenggara adalah tempat strategis bagi China untuk memindahkan kekuatan nuklir bersama dengan pesona kampanye keterlibatan militer, hal ini dimaksudkan dengan tujuan untuk mengakibatkan latihan operasi dan penjualan senjata. China menciptakan skenario ini untuk menumbuhkan pengaruhnya melawan dominasi Amerika Serikat oleh kekuatan diplomasi lunak China dan penumpukan hard-power. Sebagai contoh pada bulan Desember 2005, dengan inspirasi Malaysia, China membantu membentuk KTT Asia Timur, dengan tujuan untuk menciptakan sebuah forum yang dikeluarkan Amerika Serikat. Pada pertengahan sampai akhir 1990-an Tentara Pembebasan Rakyat mulai meningkatkan keterlibatan rekan-rekan Asia Tenggara, pindah ke sebuah titik pada akhir tahun 2005 dimana PLA mulai menunjukkan bahwa PLA dan militer dari Perhimpunan Bangsa - Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mulai mengadakan latihan militer. Thailand adalah negara pertama di Asia Tenggara yang menyelenggarakan latihan militer bersama dengan PLA di Guangzhou pada bulan Juli 2007. Dampak selanjutnya yang menjadi alasan dibalik latihan bersama ini sangat diharapkan oleh China mengingat karena Thailand telah memiliki hubungan dekat lama dengan PLA termasuk dalam hal tentara dan penjualan senjata angkatan laut. China juga memasarkan senjata utama: 071 Jenis LPD dan 10 J fighters ke Malaysia, kapal selam Tipe 039 ke Thailand, Z-9 helikopter ke Filipina, dan mungkin rudal ke Indonesia. China telah mengejar kebijakan independen keamanan yang damai sejak pertengahan 1980-an. Tujuan dari kebijakan keamanan China adalah untuk memelihara lingkungan internasional yang damai, yang pada nantinya akan bermanfaat dalam pembangunan ekonomi China dan sosial jangka panjang. Ada empat karakteristik yang beredar dalam kebijakan keamanan China saat ini: perdamaian, kemandirian, saling menghormati dan kerjasama.
• Pertama, kebijakan keamanan China yang diformulasikan dari sudut pandang apakah bermanfaat untuk perdamaian dan stabilitas internasional maupun regional, bukan hanya dilihat dari sudut pandang mencapai superioritas militer.
• Kedua, berkaitan dengan kemerdekaan, China merumuskan kebijakan keamanan sesuai dengan kepentingan nasional dan kepentingan bersama bangsa-bangsa dari semua negara di dunia.
• Rasa saling menghormati menunjukkan bahwa China ingin menempatkan hubungannya dengan negara-negara lain atas dasar saling menghormati, dan ingin melihat politik internasional, keamanan dan perjanjian non-proliferasi berdasar pada rasa saling menghormati di antara pihak-pihak yang menjadi anggotanya.
• Kerjasama menunjukkan bahwa China ingin melanjutkan kerjasama berdasarkan “Lima Prinsip Koeksistensi Damai” dengan semua negara di dunia, termasuk Amerika Serikat, dan ingin mewujudkan sebuah keselarasan antara negara-negara besar.
Niat China dalam membuat citra baru dalam keamanan juga dapat dilihat di Buku Putih Pertahanan. Melalui Buku Putih Petahanan, pemerintah China ingin menjelaskan tentang dimensi baru keamanan yang tidak hanya tradisional namun juga keamanan non-tradisional. Jelas dalam hal tersebut China ingin menjelaskan pentingnya meningkatnya isu-isu ekonomi, meningkatnya kebutuhan akademisi dan pembuat kebijakan untuk berdamai dengan memperluas konsep keamanan. Fitur ini mendefinisikan kepentingan keamanan China adalah kelengkapan (quan mian hua). Pada dasarnya, ini berarti bahwa keamanan didefinisikan tidak hanya dari segi militer tapi dimensi politik dan ekonomi juga dianggap sebagai komponen kunci.
Sejak tahun 1998, China telah menerbitkan buku putih pertahanan nasional dua kali setahun untuk menjelaskan kebijakan pertahanan nasional untuk dunia. Dengan situasi keamanan internasional dan perubahan lingkungan, kebijakan pertahanan nasional China dalam periode sejarah yang berbeda telah disesuaikan, namun dasar-dasar tetap tidak berubah.
Dasar-dasar tersebut adalah: Hukum nasional China (Undang-Undang Dasar Republik Rakyat China dan Undang – undang Pertahanan Nasional), hubungan internasional, prinsip, situasi keamanan internasional, kepentingan keamanan nasional, tanggung jawab negara-negara besar, tradisi sejarah dan budaya nasional China, serta pola dasar peperangan.

Buku Putih Pertahanan China juga menjelaskan tentang evolusi dari PLA dan peran yang melebar. Di luar konsepsi tradisional keamanan militer, analis China berpendapat bahwa angkatan bersenjata semua negara harus memainkan peran dalam melawan ancaman keamanan baru seperti terorisme dan bahwa kerjasama internasional diperlukan untuk mengatasi ancaman tersebut, bahkan hal – hal seperti kontra-terorisme, pengobatan penyakit epidemi, pencegahan bencana dan memerangi kejahatan transnasional telah diidentifikasi sebagai tindakan-tindakan dimana negara-negara perlu untuk mengatasi hal tersebut bersama-sama. Saat ini, China mendukung konvensi kontraterorisme dan kerangka hukum yang terkait. Misalnya, mendesak semua negara untuk meratifikasi konvensi dan mencapai konsensus tentang draft Komprehensif Konvensi Internasional Terorisme. Selain itu, China telah menyerukan negara-negara Asia Tenggara untuk memperkuat kerjasama untuk membasmi terorisme dan penyalahgunaan narkoba di sebuah seminar regional tentang kerjasama keamanan nontradisional.
Singkatnya, penting untuk dicatat bahwa China menekankan perlunya untuk memperkuat angkatan bersenjata untuk memenuhi tantangan militer dari negaranegara pesaing potensial, namun juga melihat kebutuhan untuk melawan musuh non-negara seperti terorisme transnasional. Disini, masyarakat dapat melihat bahwa bahkan ketika membahas keamanan militer, China menyadari bahwa beberapa pasukan non-negara bisa sama mengancamnya seperti kekuatan besar yang menentang China. China memberikan suatu pandangan positif di Asia Pasifik berdasarkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan hubungan tetangga jangka panjang yang baik, dan mengintegrasikan lebih dengan negara-negara lain. China juga memperlihatkan kesadarannya seperti dinyatakan dalam buku putih pertahanan: “However, there still exist many factors of uncertainty in Asia Pacific security. The drastic fluctuations in the world economy impact heavily on regional economic development, and political turbulence persists in some countries undergoing economic and social transition. Ethnic and religious discords, and conflicting claims over territorial and maritime rights and interests remain serious, regional hotspots are complex. At the same time, the U.S. has increased its strategic attention to and input in the Asia Pacific region, further consolidating its military alliances, adjusting its military deployment and enhancing its military capabilities. In addition, terrorist, separatist and extremist forces are running rampant, and non traditional security issues such as serious natural disasters crop up frequently. The mechanisms for security cooperation between countries and regions are yet to be enhanced, and the capability for coping with regional security threats in a coordinated way has to be improved.”
Dalam Buku Putih Pertahanan China juga memberikan informasi tentang pembangunan kekuatan militer, pertahanan built-up, dan pengeluaran pertahanan. Informasi ini masih dianggap diklasifikasikan oleh rezim China kuno. Namun dengan menunjukkan informasi kepada publik, China ingin memberikan kesan bahwa kebagkitan dan perkembangan China adalah untuk mendukung dan melindungi perdamaian. Niat China untuk mendukung perdamaian dunia juga terdapat dalam Buku Putih Pertahanan China seperti yang dikutip sebagai berikut: “China persists in developing friendly relations, enhancing political mutual trust, conducting security cooperation and maintaining common security with all countries on the basis of the Five Principles of Peaceful Coexistence. The Chinese government is actively involved in multilateral cooperation within the framework of the Shanghai Cooperation Organization (SCO). At the Bishkek Summit in August 2007 the SCO member states concluded the Treaty on Long Term Good Neighborly Relations, Friendship and Cooperation, laying a solid political and legal foundation for security cooperation and ushering in a new phase of political mutual trust among the member states.”

Negara-negara anggota ASEAN bersikap hati-hati bila menghadapi China, hal ini seperti diwariskan turun temurun mengingat sejarah China di masa lalu yang masih agresif. China memberikan dukungan bagi kelompok-kelompok revolusioner di tahun 1960-an dan kemudian mendukung Khmer Merah untuk melakukan genosida di Kamboja, melakukan perangan terhadap Vietnam pada tahun 1979, dan pencaplokan bertahap atas wilayah yang disengketakan di Laut China Selatan pada tahun 1980-an dan 1990-an. Akan tetapi selama satu dekade terakhir ini pedekatan China seakan-akan berubah secara drastis, akan tetapi tujuan China untuk memperluas dominasinya di Asia Tenggara tetap sama.

Untuk meningkatkan pengaruhnya di Asia Tenggara, China telah menggunakan ekonomi Asia Tenggara yang semakin berkembang dan hubungannya dengan komunitas etnis China yang menyebar di kawasan ini. Pendekatan China dengan dua isu ini lebih menarik perhatian negara-negara ASEAN dibandingkan dengan pendekatan Washington yang membawa isu terorisme yang kotroversial mengingat negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Indonesia dan di Filipina di dominasi oleh komunitas Muslim. Hal ini juga terlihat pada kerjasama yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN yang mana pasca perang dingin Singapura, Thailand, dan Filipina yang mau terbuka untuk bekerja sama dengan Amerika Serikat. Sedangkan saat ini selain ketiga negara di atas, Malaysia dan Indonesia juga bersedia mempertimbangkan membangun hubungan militer dengan Beijing. Suatu hal yang tidak terbayangkan di pertengahan tahun 1990-an. ASEAN didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh lima Negara, yaitu, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, kemudian Brunei Darussalam bergabung pada tanggal 8, Januari 1984 Vietnam pada tanggal 28 Juli 1995, Laos dan Myanmar pada tanggal 23 Juli 1997, dan Kamboja pada tanggal 30 April 1999. Wilayah ASEAN memiliki populasi sekitar 500 juta, total luas 4,5 juta kilometer persegi, produk domestik bruto gabungan hampir US $ 700 miliar, dan total perdagangan sekitar US $ 850 miliar. Kebangkitan China telah menyadarkan ASEAN bahwa mereka juga harus mengesampingkan perbedaan dan mulai mempercepat menata organisasi ini yang masih belum serius dalam mencari solusi terbaik di bidang pertahanan. Bahkan ASEAN Security Community dirasa masih memiliki banyak kelemahan, terlebih saat ini China mengeluarkan kebijakan keamanannya yang baru. Masalah perbatasan masih menjadi perhatian untuk kedua belah pihak ini. Klaim terhadap Laut China Selatan beserta kepulauan Spratley masih menjadi agenda dalam forum pertemuan ASEAN dan PBB. Pimpinan negara-negara ASEAN menyatakan bahwa, “apabila China masih merasa memiliki dan tidak perduli (pada sengketa Laut China Selatan), Asean akan berdiri sebagai sebuah blok dan menentang isu tersebut," Bahkan pimpinan Asean bersepakat, bahwa tidak perlu menyebutnya Laut China Selatan karena laut itu tidak hanya laut mereka (China)."
Hal yang paling mengganggu sebuah hubungan adalah rasa prasangka dan kesalah pahaman. Karena di awal tahun 1990-an pilihan China untuk terus melakukan pendekatan bilateral dan bukan multilateral untuk menyelesaikan konflik internasional tampaknya mengurangi prospek terbentuknya sebuah institusi regional yang efektif. Sikap China yang ambigu menjadi salah satu penyebabnya, Beijing terkadang bersedia untuk ikut serta dalam rezim internasional dan upaya-upaya multilateralisme dalam memecahkan suatu masalah, akan tetapi sikap itu langsung berubah ketika isu yang dibahas menghambat kepentingan nasional China, terutama isu kedaulatan teritorial yang membahas segi historis negara tersebut. Khususnya ketika China dipaksa untuk menyelesaikan masalah sengketa kepulauan Spratly di awal tahun 1990-an, sikap negara tersebut hampir saja merusak upaya dari institusi internasional dalam mengurangi konflik keamanan dalam ASEAN Regional Forum (ARF). ASEAN sebenarnya telah mencoba untuk menjalin hubungan kerja sama dengan China sejak awal tahun 1990-an. Pada tahun 1991, untuk pertama kalinya, China duduk sebagai pengamat di Ministerial Meeting ASEAN yang ke dua puluh empat di Kuala Lumpur, Malaysia. Tiga tahun kemudian, Menteri Luar Negeri Qian Qiche dan Sekjen ASEAN saling bertukar nota kesepahaman, Hubungan ASEAN-China akhirnya diresmikan di Bangkok pada tanggal 23 Juli 1994. ASEAN diberikan status dialog penuh ke China pada Ministerial Meeting yang ke dua puluh sembilan di Jakarta pada tahun
1996. Di antara berbagai perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh China dengan ASEAN, dua perjanjian yang paling penting telah disepakati di Phnom Penh pada tahun 2002 yaitu: "Deklarasi tentang pengaturan pengelolaan dan pihak-pihak yang terlibat di Laut China Selatan" dan "Perjanjian Kerangka Kerjasama Ekonomi antara ASEAN dan Republik Rakyat China" Kedua perjanjian ini dapat dilihat sebagai pilar-pilar pembentuk hubungan baru antara China dan ASEAN setelah mereka berhasil menghilangkan banyak kesalahpahaman dan prasangka. Pada 1990-an, China dan ASEAN berada dalam sengketa atas Kepulauan Spratly, yang dapat mengarah ke konflik bersenjata yang serius.[57] China akhirnya menandatangani perjanjian dengan Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei, untuk meredakan ketegangan atas wilayah tersebut. Dengan munculnya kebijakan keamanan China yang baru, hubungan ASEAN dan China tampaknya memasuki sebuah tahap yang baru. Meskipun jalan yang dilalui kedua belah pihak ini penuh dengan ritangan, hubungan yang terjalin antara China dan ASEAN semakin erat dan baik. China akhirnya bisa menerima dan menyadari pentingnya multilateralisme, berbeda dari perilakunya sebelum dekade terakhir ini, yang masih melakukan banyak hubungan bilateral dalam menangani masalah dengan negara lain. Keterlibatan China dalam ARF dan kemudian ASEAN plus tiga menunjukkan niat dari Negara Tirai Bambu tersebut untuk melihat multilateralisme sebagai hubungan kerja sama yang baik. Namun pernyataan kontroversial, yang sering dinyatakan oleh China memberikan rasa was-was dan membingungkan di antara anggota ASEAN. Seperti pada pertemuan ARF di Brunei pada tahun 1995, Menteri Luar Negeri China mengejutkan pendengarnya dengan menyatakan menerima konvensi PBB (termasuk yang tentang Hukum Laut) sebagai dasar untuk menyelesaikan konflik Laut China Selatan. Ini adalah sebuah langkah maju bagi negara tersebut yang masih mendasari kebijakan tradisional China yang mengklaim pulau berdasarkan hak 'bersejarah'. Pada pertemuan yang sama, juru bicara Kementerian Luar Negeri China melakukan klaim China terhadap 'kedaulatan yang tak terbantahkan atas pulau-pulau dan perairan yang berdekatan dengan wilayah mereka dan menolak peran ARF dalam diskusi tentang masalah ini. Untuk beberapa waktu, China telah menunjukkan kontrol diri dalam menangani klaim yang dibuat oleh Manila dan Kuala Lumpur. Selama kunjungan Presiden Filipina Corazon Aquino ke Beijing pada bulan April 1988, China menyatakan akan berjanji untuk tidak menyerang tentara Filipina yang ditempatkan di Kepulauan Spratly. Ketika mengunjungi Singapura pada tahun 1990, Perdana Menteri China Li Peng menyatakan kesediaan China untuk mengesampingkan masalah kedaulatan dan bekerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara untuk mengembangkan sumber daya bersamasama.
Akan tetapi, Beijing terus mengejar klaim teritorial dengan mengadopsi hukum laut teritorial pada bulan Februari 1992, yang mengklaim seluruh kepulauan Spratly dan siap untuk mengambil jalan kekerasan untuk mendapatkan klaim tersebut. ASEAN telah mengklaim beberapa keberhasilan dalam menghadapi China dalam isu Spratly. Organisasi ini telah berhasil menempatkan kasus sengketa tersebut di dalam agenda ARF, meskipun China merasa keberatan pada awalnya, lobi lobi intensif dari anggota ASEAN akhirnya membuat China mau menerima agenda tersebut. Selain itu, ASEAN telah mampu membuat kesepakatan dengan Beijing untuk melakukan konsultasi multilateral Sino-ASEAN mengenai isu-isu keamanan, termasuk konflik Laut China Selatan. Fakta ini membuat China membalikan sikap sebelumnya yang terus berada dalam posisi mengklaim Laut China Selatan beserta isinya. Selanjutnya, ASEAN dapat mempengaruhi China dalam mencari solusi sengketa wilayahnya menggunakan kerangka UU, PBB, Konvensi Laut dan jaminan tentang kebebasan navigasi di perairan yang diklaim oleh China tersebut. Upaya ASEAN membawa sengketa ini ke dalam isu internasional menunjukkan besarnya pengorbanan China yang mau masuk ke dalam wadah pendekatan diplomatik. Di lain pihak, proses penetapan protokoler antara hubungan ASEAN dan China berjalan sangat lambat. Sehingga sebuah perjanjian bilateral dilakukan antara China dan Vietnam pada bulan Oktober 1993, yang isinya menyatakan bahwa kedua belah pihak tidak akan menggunakan bentuk kekerasan apapun yang dapat menyebabkan hubungan ASEAN dan China berada di dalam bahaya. Perjanjian bilateral lain terjadi antara China dan Filipina pada bulan Agustus 1995 yang bertujuan untuk melakukan kerjasama dalam keselamatan navigasi, penelitian laut, operasi penyelamatan dan perlindungan lingkungan, dan untuk negosiasi penyelesaian sengketa. Akan tetapi perjanjian tersebut belum memperbaiki masalah antara Manila dan Beijing. Pada bulan Agustus 1997, ASEAN setuju untuk mempertimbangkan rancangan proposal China, sebuah kerangka kerjasama politik dan ekonomi, yang memasukan 'norma norma perilaku' untuk menjadi pedoman dalam menjalin hubungan antar kedua belah pihak, juga untuk penyelesaian sengketa damai. (Namun, draft ini tidak mengacu pada negosiasi atas kedaulatan.)  Sebuah draft kode etik diedarkan di Manila pada Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN pada bulan Juli 1999, hasilnya para Anggota ASEAN menganggap kode etik tersebut terlalu legalistik, kode etik itu mengambil bentuk perjanjian formal, sementara anggota lainnya lebih suka ngacu pada panduan awal (lebih konsisten dengan ASEAN Way). Hal ini jelas menunjukan bahwa tidak ada negara ASEAN yang melihat diplomasi sebagai alat sangat mudah untuk mencegah konflik di Spratly. Konflik di Laut China Selatan telah menjadi pertimbangan utama di balik program modernisasi militer dan perencanaan kritis negara-negara ASEAN. Ancaman terbesar yang terdapat dalam sengketa kepulauan Sprately bagi ASEAN adalah perpecahan internal dalam menghadapi China. Hal ini dapat memberikan image negatif terhadap ASEAN di mana solidaritas ASEAN hanyalah sebuah khayalan yang tidak nyata. Sementara itu China telah terus mendorong bentuk-bentuk perundingan bilateral untuk menyelesaikan suatu sengketa atau masalah. Bentuk kerjasama yang ditunjukkan oleh China dan ASEAN sebagai jalan mencari penyelesaian sebuah sengketa menunjukan dengan jelas konsep Max Weber tentang kondisi saling ketergantungan yang tercipta akibat pemahaman baru atas persamaan konsep dan nilai di antara negara-negara yang terlibat. Sikap China yang "non-violance" dapat diterima oleh anggota ASEAN sebagai tindakan positif yang memperlihatkan perdamaian, sehingga menciptakan kesempatan untuk membuka pintu hubungan baru.

Bangkitnya China menjadi salah satu negara yang kuat dan stabil di Asia menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki pengaruh dalam tatanan regional dan internasional. Namun kebangkitan China masih membuat banyak pengamat dari Barat yang meragukan sikap negara tersebut. Sehingga memberikan hasil yang ambigu dalam memutuskan sikap apa yang seharusnya di ambil dalam menghadapi kebangkitan China dan dampaknya terhadap politik global, memunculkan permintaan tentang kerangka pemikiran yang tepat untuk menghadapi kebangkitan China, dengan tujuan untuk menghindari kesalahan dalam mengambil kebijakan luar negeri. Untuk lebih memahami perilaku kebijakan luar negeri China, faktor budaya adalah salah satu faktor penting akan tetapi tidak mudah untuk dimengerti. Alastair Johnston berpendapat bahwa perilaku China dalam mencapai keamanan sebenarnya berasal dari budaya negara tersebut. Ia percaya bahwa para pembuat keputusan China telah menginternalisasi budaya realpolitik. Dalam bukunya yang berjudul Cultural Realism: Strategic Culture and Grand Strategy in Chinese History (1995), Johnston melakukan analisis sejarah terhadap budaya China dan berpendapat bahwa secara tradisional, nilai budaya dari China adalah sebuah budaya yang agresif walaupun tidak ditunjang dengan kepabilitas yang memadai. Penelitian Johnston ini penting dalam melihat sebuah perilaku suatu budaya menggunakan pendekatan realis. Selain itu, ia berhasil menunjukkan bahwa budaya dan perilaku China yang unik, di mana terdapat dua budaya strategis yang ada di China. Namun, argumen tersebut mengalami masalah validitas karena Johnston menggunakan karya-karya filosofis dan militer China klasik. Seperti yang terlihat dari grand strategi China, perilaku dari kebijakan keamanan China mencoba untuk menyesuaikan diri disegala situasi. Meskipun negara tersebut menyadari bahwa budaya strategis China bersifat agresif. Salah satu pandangan menyatakan bahwa China hanya memiliki satu budaya strategis, yaitu real-Politik karena Konfusianisme tidak berfungsi dalam pembuatan kebijakan yang sebenarnya. Pandangan lain menekankan bahwa China memiliki satu budaya strategis, tetapi adalah budaya strategis Konfusianisme-lah yang mempengaruhi keyakinan dan perilaku para pemimpin China. Dengan kata lain, Pengaruh Sun Tzu dan Confusianisme masih melekat erat dengan para pemikir dan pemimpin China saat ini.

No comments:

Post a Comment