TIGA peran yang dimainkan TNI AL secara lintas generasi, teruji mampu mengiringi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, peran militer yang dilaksanakan dalam rangka penegakan kedaulatan negara di laut dengan cara penangkalan atau pertahanan negara. Kedua, peran polisionil yang dilaksanakan dalam rangka penegakan hukum di laut, melindungi sumberdaya dan kekayaan laut nasional. Ketiga, peran dukungan diplomasi, merupakan penggunaan kekuatan TNI AL sebagai sarana diplomasi dalam mendukung kebijaksanaan luar negeri Indonesia.
Selain ketiga peran itu, TNI AL juga mengemban amanah dalam bentuk peran Operasi Lain selain Operasi Militer (Militery Operation Other than War) seperti tugas-tugas kemanusiaan dan dukungan bantuan ke berbagai wilayah bencana. Bahkan, adakalanya TNI AL melaksanakan lebih dari satu peran pada waktu yang bersamaan, seperti kehadiran unsur TNI AL dalam Malaysia-Singapura-Indonesia Malaca Straits Coordinated Patrol (Malsindo MSCP) di Selat Malaka. Kerjasama ini selain berwujud penegakan hukum di laut, juga mengandung trik diplomasi dan pengungkapan kebijakan Indonesia yang serius membasmi bajak laut ke mata dunia internasional.
Tuntutan Goeposisi.
Amanah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, khususnya Pasal 3 ayat 2, menyatakan pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Artinya, pemerintah Indonesia menyadari bahwa laut dan segala aktivitas di dalamnya dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa. Bagi TNI AL, amanah ini harus direspon sebagai tantangan sekaligus peluang untuk mereposisi keberadaan TNI AL. Kondisi geografis Indonesia yang terletak di tengah kepentingan masyarakat internasional, mengandung tingkat kerawanan yang tinggi terhadap berbagai bentuk ancaman atau kejahatan terutama masalah keamanan perbatasan dan konflik teritorial. Terkait dengan masalah perbatasan kawasan, baik perbatasan darat Indonesia dengan tiga negara tetangga maupun perbatasan laut Indonesia dengan sepuluh negara tetangga, merupakan isu sensitif yang paling berpotensi memicu konflik. Sensitivitas masalah perbatasan kawasan diperparah dengan isu maraknya pelanggaran wilayah oleh kapal asing dan pesawat udara pada corong-corong strategis, illegal fishing, penyelundupan dan jalur trafficking buruh migran, perompakan terhadap kapal niaga di selat-selat sempit serta kejahatan multidimensional lainnnya. Dalam konteks inilah, tuntutan geoposisi TNI AL menjadi agenda prioritas. Geoposisi TNI AL dipahami sebagai upaya memposisikan TNI AL sesuai kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, tentu dengan sarana pendukung yang memadai. Ironisnya, 50% dari 148 kapal TNI AL saat ini sudah uzur yang harus melindungi 5,8 juta kilometer persegi wilayah laut Indonesia serta ribuan pulau di seluruh wilayah nusantara. Kendaraan tempur Marinir yang ada rata-rata bernasib sama, tidak lagi sesuai dengan perkembangan teknologi karena secara teknis telah menurun efek penggetar dan pemukulnya. Padahal, meminjam istilah mantan Presiden Soekarno, bangsa pelaut seharusnya tercermin pada kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri. Zaman keemasan tercatat ketika kekuatan TNI AL terbesar di Asia Tenggara pada 1960-an dengan komposisi 234 kapal perang yang terdiri dari sebuah kapal penjelajah (cruiser), 7 kapal perusak (destroyer), 12 kapal selam dan beberapa jenis kapal perang lain. Kemantapan soliditas TNI ketika itu, besarnya armada laut dengan persenjataan canggih yang mampu mengangkut pasukan dalam jumlah besar dan siap melaksanakan pertempuran laut, menjadikan Indonesia memiliki bargaining position yang tinggi. Pengalaman pahit masa lalu ketika kekuatan asing menduduki negeri ini dengan merubah paradigma maritim dan menjauhkan penghidupan masyarakat dari laut, patut dikedepankan sebagai renungan nasional bangsa berkarakter bahari. Paradigma maritim harus dipahami sebagai kesadaran bangsa tentang kehidupan masa depannya bergantung pada lautan, bukan diartikan sebagai bangsa yang mayoritas masyarakatnya adalah nelayan. Implementasi geoposisi TNI AL memang membutuhkan kemauan politik yang kuat dari pemerintah, tetapi secara internal TNI AL telah menempatkan visi dan misi maritim sebagai negara kepulaun terbesar dunia untuk mewujudkan TNI AL yang handal dan disegani. Kepala Staf TNI Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Soeparno, pada peringatan hari lahir TNI AL tanggal 10 September 2011 menekankan perlunya menumbuhkan kembali Maritime Domain Awareness. Menyikapi kepedulian terhadap wilayah kelautan, perlu merumuskan kembali jawaban: who we are, what we do dan how do we fight ?
Tantangan ke Depan.
Penjelasan Pasal 11 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, menjabarkan gelar kekuatan TNI mengutamakan daerah rawan konflik, daerah perbatasan dan pulau terpencil sesuai kondisi geografis dan strategi pertahanan. TNI AL merumuskan strategi pertahanan laut nusantara pada tiga pilar utama: penangkalan, pertahanan mendalam dan hankamrata. Medan juang pertahanan ditata dengan urutan: Pertama, medan juang penyanggah, merupakan daerah pertahanan yang berada di luar garis batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan lapisan udara di atasnya. Kedua, medan pertahanan utama, merupakan pertahanan dari batas terluar ZEEI ke batas terluar laut teritorial dan lapisan udara di atasnya. Ketiga, medan pertahanan akhir, merupakan pertahanan dari laut teritorial ke wilayah perairan nusantara dan lapisan udara di atasnya. Mengkaji kekuatan maritim (sea power) suatu negara, setidaknya melalui dua kriteria. Pertama, anggaran belanja Angkatan Laut (Naval Expenditure) minimal 50% dari anggaran belanja suatu kawasan. Kedua, anggaran tersebut seharusnya menjelma menjadi armada kapal perang minimal 50% dari kapal perang di Asia Timur. Kemampuan anggaran dan kekuatan maritim harus disertai kemampuan proyeksi dan struktur kekuatan maritim karena ada tiga kemampuan yang harus dimiliki sea power. Pertama, kemampuan mengoperasikan fungsi maritim masa damai. Fungsi ini dioperasionalkan menjadi perlindungan sea lanes of communication, jaminan lintas damai dan kemampuan evakuasi kecelakaan laut. Kedua, battlespace dominance dengan membangun sistem pertahanan: sea denial system, space denial system dan land space denial system. Ketiga, memiliki kemampuan demonstrasi kekuatan. Pembangunan pertahanan Indonesia dengan meningkatkan kemampuan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI untuk mencapai minimum essential force, meningkatkan kesejahteraan prajurit dengan meningkatkan standar uang lauk-pauk serta meningkatkan kerjasama militer luar negeri guna mewujudkan kerjasama internasional dalam menciptakan perdamaian dunia perlu dukungan politik dari pemerintah. Kenyataannya, bukan hanya kendala anggaran, kesadaran pemerintah untuk membangun pertahanan Indonesia khususnya pertahanan laut yang berwibawa setidaknya di Asia Tenggara belum menjadi prioritas politik yang utama. Memang tidak mudah menitikberatkan pembangunan kekuatan pertahanan nasional berbasiskan laut apalagi dengan kondisi ekonomi negara yang fluktuatif, tetapi bukan mustahil pula untuk dilaksanakan karena tuntutan geografis Indonesia. Tantangan ke depan yang mendesak, setidaknya ada dua alternatif strategi unggulan. Pertama, membangun kekuatan anti navy. Bukan kekuatan maritim tandingan, melainkan upaya pencegahan pada terbukanya akses laut bagi armada asing ke littoral areas. Kedua, mengembangkan kerjasama maritim transnasional untuk melindungi sekitar 23 World Vital Chokepoints (WVC). Empat chokepoints berada di Indonesia yaitu Selat Makassar, Selat Lombok, Selat Sunda dan Selat Malaka. Mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat di Asia Tenggara, harus mendasarkan politik negara pada penguasaan alur pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan laut. Dalam konteks pertahanan laut, armada laut harus merepresentasikan sebagai negara maritim terbesar di dunia. Di sinilah geoposisi TNI AL, menjadi inisiator sekaligus garda terdepan untuk mengamankan posisi jati diri bangsa secara kultural dalam bingkai persepsi kewilayahan tanah dan air Indonesia. Walhasil, kita harus menuntaskan jati diri bangsa sebagai penghuni negara kepulauan dan perlu mengedepankan visi dan strategi yang cerdas kreatif ke arah paradigma maritim yang rasional dan berwawasan global.
Tuntutan Goeposisi.
Amanah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, khususnya Pasal 3 ayat 2, menyatakan pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Artinya, pemerintah Indonesia menyadari bahwa laut dan segala aktivitas di dalamnya dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa. Bagi TNI AL, amanah ini harus direspon sebagai tantangan sekaligus peluang untuk mereposisi keberadaan TNI AL. Kondisi geografis Indonesia yang terletak di tengah kepentingan masyarakat internasional, mengandung tingkat kerawanan yang tinggi terhadap berbagai bentuk ancaman atau kejahatan terutama masalah keamanan perbatasan dan konflik teritorial. Terkait dengan masalah perbatasan kawasan, baik perbatasan darat Indonesia dengan tiga negara tetangga maupun perbatasan laut Indonesia dengan sepuluh negara tetangga, merupakan isu sensitif yang paling berpotensi memicu konflik. Sensitivitas masalah perbatasan kawasan diperparah dengan isu maraknya pelanggaran wilayah oleh kapal asing dan pesawat udara pada corong-corong strategis, illegal fishing, penyelundupan dan jalur trafficking buruh migran, perompakan terhadap kapal niaga di selat-selat sempit serta kejahatan multidimensional lainnnya. Dalam konteks inilah, tuntutan geoposisi TNI AL menjadi agenda prioritas. Geoposisi TNI AL dipahami sebagai upaya memposisikan TNI AL sesuai kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, tentu dengan sarana pendukung yang memadai. Ironisnya, 50% dari 148 kapal TNI AL saat ini sudah uzur yang harus melindungi 5,8 juta kilometer persegi wilayah laut Indonesia serta ribuan pulau di seluruh wilayah nusantara. Kendaraan tempur Marinir yang ada rata-rata bernasib sama, tidak lagi sesuai dengan perkembangan teknologi karena secara teknis telah menurun efek penggetar dan pemukulnya. Padahal, meminjam istilah mantan Presiden Soekarno, bangsa pelaut seharusnya tercermin pada kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri. Zaman keemasan tercatat ketika kekuatan TNI AL terbesar di Asia Tenggara pada 1960-an dengan komposisi 234 kapal perang yang terdiri dari sebuah kapal penjelajah (cruiser), 7 kapal perusak (destroyer), 12 kapal selam dan beberapa jenis kapal perang lain. Kemantapan soliditas TNI ketika itu, besarnya armada laut dengan persenjataan canggih yang mampu mengangkut pasukan dalam jumlah besar dan siap melaksanakan pertempuran laut, menjadikan Indonesia memiliki bargaining position yang tinggi. Pengalaman pahit masa lalu ketika kekuatan asing menduduki negeri ini dengan merubah paradigma maritim dan menjauhkan penghidupan masyarakat dari laut, patut dikedepankan sebagai renungan nasional bangsa berkarakter bahari. Paradigma maritim harus dipahami sebagai kesadaran bangsa tentang kehidupan masa depannya bergantung pada lautan, bukan diartikan sebagai bangsa yang mayoritas masyarakatnya adalah nelayan. Implementasi geoposisi TNI AL memang membutuhkan kemauan politik yang kuat dari pemerintah, tetapi secara internal TNI AL telah menempatkan visi dan misi maritim sebagai negara kepulaun terbesar dunia untuk mewujudkan TNI AL yang handal dan disegani. Kepala Staf TNI Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Soeparno, pada peringatan hari lahir TNI AL tanggal 10 September 2011 menekankan perlunya menumbuhkan kembali Maritime Domain Awareness. Menyikapi kepedulian terhadap wilayah kelautan, perlu merumuskan kembali jawaban: who we are, what we do dan how do we fight ?
Tantangan ke Depan.
Penjelasan Pasal 11 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, menjabarkan gelar kekuatan TNI mengutamakan daerah rawan konflik, daerah perbatasan dan pulau terpencil sesuai kondisi geografis dan strategi pertahanan. TNI AL merumuskan strategi pertahanan laut nusantara pada tiga pilar utama: penangkalan, pertahanan mendalam dan hankamrata. Medan juang pertahanan ditata dengan urutan: Pertama, medan juang penyanggah, merupakan daerah pertahanan yang berada di luar garis batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan lapisan udara di atasnya. Kedua, medan pertahanan utama, merupakan pertahanan dari batas terluar ZEEI ke batas terluar laut teritorial dan lapisan udara di atasnya. Ketiga, medan pertahanan akhir, merupakan pertahanan dari laut teritorial ke wilayah perairan nusantara dan lapisan udara di atasnya. Mengkaji kekuatan maritim (sea power) suatu negara, setidaknya melalui dua kriteria. Pertama, anggaran belanja Angkatan Laut (Naval Expenditure) minimal 50% dari anggaran belanja suatu kawasan. Kedua, anggaran tersebut seharusnya menjelma menjadi armada kapal perang minimal 50% dari kapal perang di Asia Timur. Kemampuan anggaran dan kekuatan maritim harus disertai kemampuan proyeksi dan struktur kekuatan maritim karena ada tiga kemampuan yang harus dimiliki sea power. Pertama, kemampuan mengoperasikan fungsi maritim masa damai. Fungsi ini dioperasionalkan menjadi perlindungan sea lanes of communication, jaminan lintas damai dan kemampuan evakuasi kecelakaan laut. Kedua, battlespace dominance dengan membangun sistem pertahanan: sea denial system, space denial system dan land space denial system. Ketiga, memiliki kemampuan demonstrasi kekuatan. Pembangunan pertahanan Indonesia dengan meningkatkan kemampuan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI untuk mencapai minimum essential force, meningkatkan kesejahteraan prajurit dengan meningkatkan standar uang lauk-pauk serta meningkatkan kerjasama militer luar negeri guna mewujudkan kerjasama internasional dalam menciptakan perdamaian dunia perlu dukungan politik dari pemerintah. Kenyataannya, bukan hanya kendala anggaran, kesadaran pemerintah untuk membangun pertahanan Indonesia khususnya pertahanan laut yang berwibawa setidaknya di Asia Tenggara belum menjadi prioritas politik yang utama. Memang tidak mudah menitikberatkan pembangunan kekuatan pertahanan nasional berbasiskan laut apalagi dengan kondisi ekonomi negara yang fluktuatif, tetapi bukan mustahil pula untuk dilaksanakan karena tuntutan geografis Indonesia. Tantangan ke depan yang mendesak, setidaknya ada dua alternatif strategi unggulan. Pertama, membangun kekuatan anti navy. Bukan kekuatan maritim tandingan, melainkan upaya pencegahan pada terbukanya akses laut bagi armada asing ke littoral areas. Kedua, mengembangkan kerjasama maritim transnasional untuk melindungi sekitar 23 World Vital Chokepoints (WVC). Empat chokepoints berada di Indonesia yaitu Selat Makassar, Selat Lombok, Selat Sunda dan Selat Malaka. Mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat di Asia Tenggara, harus mendasarkan politik negara pada penguasaan alur pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan laut. Dalam konteks pertahanan laut, armada laut harus merepresentasikan sebagai negara maritim terbesar di dunia. Di sinilah geoposisi TNI AL, menjadi inisiator sekaligus garda terdepan untuk mengamankan posisi jati diri bangsa secara kultural dalam bingkai persepsi kewilayahan tanah dan air Indonesia. Walhasil, kita harus menuntaskan jati diri bangsa sebagai penghuni negara kepulauan dan perlu mengedepankan visi dan strategi yang cerdas kreatif ke arah paradigma maritim yang rasional dan berwawasan global.
Sumber : Padangekspres
Semoga Bangsa Indonesia menjadi negara maritim yang terkuat di dunia dengan selalu mengedepankan pertahanan lautnya
ReplyDeleteAmin....!Semoga demikian bapak. tks
ReplyDeletehttp://damnthetorpedo-2.blogspot.com
ReplyDeletesalut pak atas kepedulian tentang pandangan maritim bangsa indonesia, mudah2an bisa menjadi inspirasi buat generasi penerus..
ReplyDeleteTerima kasih pak mocad 910403. Sukses slalu buat bapak.
ReplyDelete