Masih segar dalam ingatan segenap masyarakat Internasional umumnya dan Lebanon khususnya bahwa perang tiga puluh empat hari yang terjadi pada 12 Juli sampai 14 Agustus 2006 antara Israel dan Hezbollah telah menorehkan kepiluan mendalam dan merupakan babak baru bagi perkembangan situasi keamanan Timur Tengah. Seluruh media elektronik dan cetak baik Internasional maupun dalam negeri Indonesia tidak pernah henti mempublikasikan sengitnya pertempuran yang terjadi antara pasukan Israel Defence Force (IDF) dengan kelompok bersenjata Hezbollah, bahkan tidak sedikit dari media menjadikan liputan tersebut sebagai Head Lines News pemberitaan.
Reaksi keras dalam negeri dari berbagai unsur elemen masyarakat bermunculan seketika dengan turun ke jalan sebagai aksi protes dan menunjukkan solidaritas antara sesama umat manusia. Suatu reaksi yang wajar melihat banyaknya korban berjatuhan di pihak masyarakat sipil terutama wanita dan anak-anak sebagai dampak dan ekses suatu peperangan.
Setelah tiga puluh empat hari pertempuran berlangsung, indikasi meredanya pertempuran dan bahkan akan mengarah kepada genjatan senjata antara kedua belah pihak yang bertempur mulai terlihat. Badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) segera bertindak lewat sidang Dewan Keamanan dan mengambil langkah-langkah strategis guna merumuskan suatu kesepakan damai antara kedua pilah yang bertikai. United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL) sebagai representative dari badan dunia PBB yang bertugas menjaga dan pengawal perdamain di Lebanon sejak tahun 1978 tidak kuasa berbuat banyak mengantisipasi dan mereduksi pertempuran antara IDF dan Hezbollah. Gelar deployment kekutan pasukan Unifil saat itu sangatlah tidak sebanding dengan luasnya area operasi yang dipertanggung jawabkan. Oleh karenanya, sangatlah dapat dipahami bahwa saat pertempuran berlangsung maka usaha maksimal yang dapat dilakukan oleh pasukan yang tergabung dalam Unifil hanyalah menyelamatkan diri masing-masing guna mencegah jatuhnya korban.